Type
blogs
Refleksi Akhir Tahun: Apa yang Kita Lihat dan Tidak Kita Lihat Ketika Bepergian di Kota
Fildzah Husna
Thu, 30 Dec 2021
Tantangan aksesibilitas di Kota Solo. Foto oleh: Angga Bakti
Di kota yang belum inklusif, bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya dapat menjadi situasi yang menantang bagi kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas. Nyatanya, penelitian Kota Kita bersama UNESCO mengidentifikasi bahwa hanya setengah (52%) dari penyandang disabilitas di Kota Solo pernah menggunakan transportasi umum. Ada banyak faktor yang membuat sulitnya penyandang disabilitas untuk bermobilitas, salah satu yang utama adalah karena infrastruktur yang belum mendukung bagi mereka. Mudah bagi seseorang yang tidak memiliki disabilitas untuk tidak menyadarinya—bahkan menganggap enteng pengalaman mobilitas di kota. Naik dan turun tangga bus pun menjadi aktivitas yang dianggap biasa. Pengumuman kedatangan dan keberangkatan di stasiun maupun halte yang tak terlalu terdengar jelas bukanlah masalah, penanda visual di gerbong kereta atau bus bukan menjadi hal yang selalu harus melulu diperhatikan. Namun, tentu saja, hal-hal bisa menjadi sangat berbeda untuk orang lain.
Cara bermobilitas yang berbeda bukanlah ‘ketidaknormalan’. Yang tidak normal justru adalah menganggap tantangan mobilitas merupakan hal yang tak bisa diatasi dan melanggengkannya. Padahal, yang dibutuhkan adalah solidaritas dan dorongan untuk mengeksplorasi strategi dalam membuat ruang, infrastruktur, serta kesempatan sosial-ekonomi yang universal—di mana semua bisa mengaksesnya. Sementara dalam praktiknya, warga yang merupakan pengguna infrastruktur kota seringkali tidak diikutsertakan dalam proses perancangan kota, sehingga, kebutuhan dan aspirasi mengenai seperti apa infrastruktur yang akan memudahkan warga tidaklah sampai pada pembuat kebijakan.
Tidak hanya metode bermobilitas, destinasi-destinasi penting, misalnya pasar, juga seringkali masih luput dari ‘pengelihatan’ kita dalam menilai inklusivitas kota-kota kita. Bagi kelompok marjinal seperti perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong yang memiliki banyak risiko seperti terjatuh maupun tergelincir, desain pasar yang aman merupakan hal yang penting untuk dipastikan. Pun, pengunjung pasar yang lebih rentan seperti ibu hamil ataupun lansia juga amat membutuhkan infrastruktur yang memudahkan.
"Paradigma inklusivitas di ruang publik, utamanya di fasilitas dasar, merupakan hal yang penting untuk diarusutamakan ketika merancang fasilitas perkotaan. Secara keseluruhan, aksesibilitas pada cara dan alat untuk bepergian, sekaligus aksesibilitas di tempat yang dituju—adalah indikator penting supaya kota dapat diutilisasi secara optimal untuk semua orang. Secara paralel, kota yang inklusif akan memperbaiki kualitas kehidupan warga di kota."
Pergantian tahun merupakan momentum penting dalam membuat resolusi untuk menjadi lebih baik. Di penghujung tahun 2021 ini, kami ingin kembali mengajakmu untuk sama-sama merefleksikan bagaimana mendorong usaha dan inovasi inklusif ketika merancang kota. Mengakui dan mencari intervensi struktural dari relasi yang tak menguntungkan kelompok yang lebih rentan dalam mobilitas perkotaan perlu terus didorong: misalnya dengan memastikan partisipasi kelompok rentan secara lebih mendalam dalam proses perancangan kota. Pada akhirnya, usaha individu juga tak kalah penting untuk membangun kesadaran yang luas mengenai pentingnya kota yang inklusif. Kita bisa memupuknya dari membangun kepekaan dengan kondisi dan tantangan kolektif di sekitar kita—melihat tantangan dan kebutuhan yang selama ini dianggap ‘tak terlihat’ di ruang-ruang kota.
Akhir kata, selamat Tahun Baru 2022! Semoga di tahun depan dan seterusnya semakin besar energi kolektif dalam bersolidaritas membangun kota yang lebih inklusif!